Categories: Mobil Updates

Pajak Tahunan Toyota Avanza di Malaysia Hanya Rp 300 Ribuan, Lebih Murah Dari RI

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pajak tahunan Toyota Avanza di Malaysia jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pajak yang harus dibayarkan di Indonesia.

Di negeri jiran tersebut, pemilik kendaraan hanya perlu membayar pajak tahunan sekitar Rp 300 ribuan, dan menariknya, tidak ada kewajiban perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang harus dilakukan setiap lima tahun seperti yang berlaku di Indonesia.

Di Indonesia, biaya pajak kendaraan dinilai sangat tinggi dan menjadi beban bagi para pemilik kendaraan. Selain pajak tahunan yang wajib dibayarkan, setiap lima tahun pemilik juga diwajibkan melakukan perpanjangan STNK yang tentu saja menimbulkan biaya tambahan.

Pada saat perpanjangan, selain biaya administrasi untuk penerbitan STNK baru, pemilik juga harus membayar biaya pembuatan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) yang baru. Jika ditambah lagi dengan biaya Bea Balik Nama (BBN) yang harus dibayar saat membeli kendaraan baru, maka total biaya pajak kendaraan menjadi sangat besar dan memberatkan.

Beban pajak kendaraan di Indonesia ini tentu jauh berbeda dengan sistem yang diterapkan di Malaysia. Menurut data Gaikindo, khusus untuk model kendaraan yang populer seperti Toyota Avanza, pajak yang dikenakan di Malaysia sangat rendah, hanya berkisar ratusan ribu rupiah saja.

Selain itu, Gaikindo juga menelusuri perbandingan pajak tahunan Avanza di Indonesia. Hasilnya, pajak tahunan kendaraan tersebut bisa mencapai angka jutaan rupiah.

“Di sana pajak tahunannya nggak lebih dari Rp 1 juta, di sini Rp 6 juta, ini bisa dibayangkan kalau ini dikurangi lumayan, lebih rasional,” ujar Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara.

Pajak Rp 6 juta yang dimaksud Kukuh Kumara itu adalah gabungan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sekitar Rp 4 juta dan Bea Balik Nama (BBN) sebesar Rp 2 juta. Lebih dari itu, biaya perpanjangan STNK yang dilakukan setiap lima tahun juga wajib ditanggung oleh pemilik kendaraan.

Berbeda dengan Indonesia, sistem pajak kendaraan di Malaysia menerapkan tarif yang jauh lebih ringan. Untuk PKB, biaya yang dikenakan hanya sekitar Rp 385 ribu dan BBN sebesar Rp 500 ribu. Selain itu, tidak ada kewajiban perpanjangan STNK lima tahunan yang memberatkan pemilik kendaraan.

Beban pajak di Indonesia tidak hanya sebatas PKB, BBN, dan perpanjangan STNK. Saat membeli mobil baru, pembeli juga harus menghadapi berbagai jenis pajak lain yang menambah biaya secara signifikan. Salah satu yang paling memberatkan adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dikenakan kepada kendaraan baru dengan tarif berbeda-beda berdasarkan emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut.

Menurut Kukuh Kumara, sebenarnya mobil sudah tidak lagi layak disebut sebagai barang mewah. Hal ini karena mobil telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan dipakai sebagai alat mencari nafkah oleh banyak masyarakat.

“Nah ini sekarang TV udah kayak barang biasa kan? Demikian juga mobil, karena apa? Mobil misalnya jenis-jenis yang 300 (juta) atau di bawah Rp 400 juta. Itu udah menjadi bagian dari hidupnya karena dipakai untuk mencari nafkah,” jelas Kukuh.

Selain PPnBM, pembeli mobil baru juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Tidak hanya itu, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang dapat mencapai tarif maksimum 20 persen, termasuk opsen-opsen yang ada, juga wajib dibayar oleh konsumen. Ada pula Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebesar 2 persen yang menambah total biaya.

Semua komponen pajak ini membuat harga akhir kendaraan di Indonesia jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan negara tetangga. Beban pajak yang tinggi ini dirasakan sangat membebani konsumen yang ingin memiliki kendaraan pribadi, khususnya bagi mereka yang mengandalkan mobil sebagai sarana transportasi utama dalam aktivitas sehari-hari.

Perbandingan antara sistem pajak kendaraan di Indonesia dan Malaysia ini menunjukkan betapa jauh perbedaan tarif yang diterapkan, yang berimbas langsung pada kemampuan masyarakat dalam membeli dan memiliki kendaraan.

Kondisi tersebut juga membuka ruang diskusi mengenai perlunya revisi kebijakan pajak kendaraan agar lebih adil dan tidak memberatkan masyarakat, terutama bagi pengguna kendaraan yang menjadikan mobil sebagai alat kerja dan penunjang kehidupan.

Dengan adanya perbedaan sistem pajak yang signifikan ini, konsumen di Indonesia tentu berharap pemerintah dapat melakukan penyesuaian sehingga biaya kepemilikan kendaraan menjadi lebih terjangkau. Hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi perkembangan industri otomotif nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengguna kendaraan bermotor. (WAN)