Mobil Listrik Bekas Masih Sulit Laku di Pasar Indonesia, Ini Penyebabnya

Kondisi pasar mobil listrik bekas di Indonesia belum stabil, pedagang masih enggan menjual.
UPDATEOTOMOTIF.COM - Penjualan mobil listrik baru di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, perkembangan ini belum berhasil diikuti oleh pasar mobil bekas. Kendaraan listrik seken masih belum dilirik secara luas, bahkan cenderung dihindari oleh para pelaku usaha di segmen tersebut.
Andi, pemilik showroom mobil bekas Jordy Motor di kawasan Mega Glodok Kemayoran (MGK), mengaku belum tertarik untuk menjual mobil listrik bekas. Ia menilai harga jualnya masih terlalu fluktuatif dan belum stabil di pasaran.
“Saya tidak (menjual mobil listrik bekas). Karena harganya tidak stabil, pegang agak lama sedikit pasti rugi,” ujar Andi saat dihubungi belum lama ini.
Pernyataan itu memperkuat gambaran bahwa pasar mobil listrik bekas masih penuh ketidakpastian.
Hal ini turut diamini oleh Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif sekaligus dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Menurutnya, fenomena ini mencerminkan ketidaksiapan pasar dalam menerima kendaraan listrik bekas sebagai komoditas yang layak jual.
“Mencerminkan ketidakpastian struktural pasar mobil bekas yang masih dalam tahap awal, sehingga belum terbentuk pola normalnya,” ujar Yannes, Minggu (8/6/2025).
Yannes juga menekankan bahwa sejumlah faktor memengaruhi keraguan calon konsumen terhadap kendaraan listrik bekas.
Kekhawatiran utama datang dari kondisi baterai yang belum bisa dipastikan secara transparan oleh pembeli.

Harga baterai dan minimnya infrastruktur jadi alasan utama mobil listrik bekas kurang diminati.
“Faktor utama yang dipahami pasar mobil bekas adalah ketakutan terhadap kondisi baterai (umur pakai hanya 5–7 tahun), harga penggantian baterai saat sudah tidak terpakai lagi yang sangat mahal (bisa sekitar 30 persen–45 persen harga mobil EV barunya), sudah habisnya garansi pabrik untuk beberapa merek, dan sulit dinilai kualitas baterainya oleh pembeli,” ungkapnya.
Masalah tersebut diperparah dengan kemajuan teknologi baterai yang begitu cepat. Inovasi yang terus muncul dalam model-model EV terbaru justru mempercepat depresiasi nilai kendaraan bekas.
Mobil listrik generasi baru hadir dengan kemampuan fast charging lebih baik, daya jelajah lebih jauh, serta efisiensi energi yang semakin tinggi. Fitur-fitur canggih ini membuat versi lama terasa tertinggal secara teknologi.
“Teknologi baterai baru semakin dapat melakukan fast charging, berdaya jangkau lebih jauh, dan harga baterainya semakin murah,” jelas Yannes.
Ia juga menambahkan bahwa penurunan harga baterai tipe NMC maupun LFP pada periode 2024–2025 turut menekan harga jual mobil listrik bekas secara signifikan.
Belum lagi, dukungan pemerintah terhadap mobil listrik baru dalam bentuk subsidi membuat harga barunya jauh lebih menarik dibanding unit bekas. Ini membuat posisi kendaraan listrik seken makin tidak kompetitif di mata konsumen.
Selain itu, Yannes menyoroti masalah keterbatasan infrastruktur pengisian daya dan minimnya layanan bengkel untuk kendaraan listrik di luar masa garansi.
Semua faktor ini membuat pembeli ragu mengambil risiko pada mobil listrik bekas, apalagi ketika biaya penggantian baterai belum memiliki kepastian yang jelas.
“Jadi, penurunan harga lebih menunjukkan pasar yang belum matang. Masyarakat belum siap dengan fenomena mobil yang semakin tidak bisa lagi mempertimbangkan resale value yang lebih baik, seperti halnya di paradigma ICE bekas yang sudah terbangun valuenya selama puluhan tahun,” tuturnya.
Namun, Yannes tetap optimistis jika dukungan terhadap ekosistem EV terus berkembang, kepercayaan publik terhadap kendaraan listrik bekas juga akan meningkat.
Hal ini membutuhkan intervensi di berbagai sektor, mulai dari pembiayaan, edukasi, hingga garansi komponen utama seperti baterai.
“Kepercayaan akan tumbuh jika ada standar garansi baterai, pembiayaan yang adil, edukasi konsumen yang masif, serta infrastruktur yang merata,” tutup Yannes. (vip)