Mobil dengan harga jual di bawah Rp 400 juta kini tengah menjadi sorotan karena masih dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
UPDATEOTOMOTIF.COM - Mobil dengan harga jual di bawah Rp 400 juta kini tengah menjadi sorotan karena masih dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Padahal, kendaraan di segmen harga tersebut dinilai bukan lagi termasuk barang mewah karena fungsinya telah berubah menjadi alat produksi dan transportasi harian masyarakat.
Setiap pembelian mobil baru memang langsung dibebani sejumlah pajak, salah satunya PPnBM. Ketentuan mengenai pajak tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021 yang mengatur jenis kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM beserta mekanisme pembebasan, pengembalian, dan tata cara administrasinya.
Namun, penerapan PPnBM terhadap mobil-mobil berharga di bawah Rp 400 juta dianggap memberatkan konsumen. Pasalnya, setelah membayar PPnBM di awal pembelian, pemilik mobil masih harus memenuhi kewajiban membayar pajak kendaraan tahunan. Belum lagi ada kewajiban memperpanjang STNK setiap lima tahun sekali.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengungkapkan bahwa mobil dengan harga jual Rp 300 juta hingga Rp 400 juta sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat karena digunakan untuk menunjang mata pencaharian.
“Mobil misalnya jenis-jenis yang Rp 300 (juta) atau di bawah Rp 400 juta itu udah menjadi bagian dari hidupnya karena dipakai untuk mencari nafkah,” ujar Kukuh dalam diskusi yang digelar belum lama ini.
Ia menilai, perlakuan pajak terhadap mobil semestinya dievaluasi ulang, terutama menyangkut anggapan bahwa kendaraan adalah barang mewah. Kukuh mempertanyakan, mengapa hanya mobil yang terus dikenai pajak tambahan setiap tahun, sedangkan barang mewah lain seperti sepatu dan tas hanya dikenai pajak satu kali saat pembelian.
“Masih laikkah kita menimpakan pajak pertambahan nilai barang mewah untuk mobil tertentu, karena kalau mobil dianggap barang mewah, memangnya sepatu nggak ada yang mewah?” tuturnya.
“Tas ada yang ratusan juta, barang mewah tapi sekali bayar pajak itu selesai. Kalau mobil tiap tahun bayar terus belum lagi ada pajak progresif,” tambahnya.
Kukuh juga menyebut bahwa segmentasi mobil di bawah Rp 400 juta merupakan pasar terlaris di Indonesia. Banyak pilihan mobil dalam kisaran harga tersebut, baik di kelas Low Cost Green Car (LCGC) maupun Low SUV dan Low MPV.
Toyota Agya masuk dalam segmentasi mobil di bawah Rp 400 juta
Mobil-mobil di segmen LCGC seperti Toyota Agya, Toyota Calya, Honda Brio Satya, Daihatsu Ayla, dan Daihatsu Sigra rata-rata dijual di bawah Rp 250 juta. Mobil-mobil ini sangat diminati karena efisien dalam konsumsi bahan bakar serta biaya perawatannya terjangkau.
Selain LCGC, pilihan lain juga hadir dari merek-merek besar di kelas Low SUV dan MPV. Di antaranya, Toyota memiliki sejumlah model seperti Raize, Avanza, Veloz, Rush, Yaris Cross, dan Kijang Innova Reborn yang masih dijual dengan harga di bawah Rp 400 juta.
Tak hanya Toyota, Daihatsu juga punya lini kendaraan yang kompetitif seperti Xenia, Terios, dan Sirion. Suzuki menawarkan varian seperti Ertiga, S-Presso, XL7, serta Baleno, termasuk versi hybrid untuk beberapa modelnya.
Honda pun ikut meramaikan dengan Brio RS, WR-V, BR-V N7X, hingga City Hatchback RS. Di sisi lain, Mitsubishi menyuguhkan Xpander, Xpander Cross, dan Xforce yang semuanya memiliki banderol di bawah Rp 400 juta.
Masuknya merek-merek baru seperti Hyundai, Wuling, BYD, dan Chery juga memberi alternatif menarik. Hyundai memiliki Stargazer, Stargazer X, Creta, dan Venue. Sementara Wuling menawarkan Air ev, BinguoEV, Cloud EV, Alvez, Cortez, dan Confero.
BYD hadir dengan model Dolphin dan M6, sedangkan Chery menghadirkan Tiggo Cross, Tiggo 7 Pro, dan Omoda 5 yang berada dalam jangkauan harga serupa. Semua model ini memperluas pilihan masyarakat terhadap mobil yang ekonomis, fungsional, dan sesuai kebutuhan mobilitas harian.
Dengan beragamnya pilihan dan tingginya minat terhadap mobil-mobil di segmen harga ini, muncul pertanyaan besar mengenai relevansi penerapan PPnBM. Para pelaku industri berharap ada evaluasi agar masyarakat tidak terus-menerus dibebani pajak yang sebenarnya sudah tak relevan dengan kondisi pasar. (WAN)