Depresiasi Tajam, Mobil Listrik Bekas Kalah Peminat dari Hybrid di Pasar Seken

mobil hybrid dianggap lebih fleksibel dan tidak terlalu sensitif terhadap jarak tempuh.
UPDATEOTOMOTIF.COM - Meski mobil listrik kerap disebut sebagai masa depan kendaraan ramah lingkungan, kondisi di pasar mobil bekas Indonesia menunjukkan kenyataan yang berbeda.
Konsumen masih enggan melirik mobil listrik bekas. Bukan karena performa atau teknologinya, melainkan karena nilai jualnya yang jatuh terlalu dalam.
Depresiasi harga mobil listrik bekas memang menjadi momok utama bagi pembeli dan pedagang.
Belum ada pola yang bisa diprediksi, dan kejatuhannya bisa sangat drastis hanya dalam satu hingga dua tahun pemakaian. Hal ini membuat banyak showroom memilih untuk tidak mengambil risiko.
“Enggak jual. Enggak mau ambil. Depresiasinya belum bisa ketebak ya,” ujar Anton Gunawan, pemilik showroom Rapih Motor di MGK Kemayoran, saat ditemui Rabu (4/6/2025).
Anton secara terang-terangan menyebut bahwa dirinya tidak menjual mobil listrik bekas karena sulit memperkirakan nilai jual kembali yang masuk akal. Ia menilai bahwa risiko kerugiannya terlalu besar.
Namun berbeda halnya dengan mobil hybrid. Menurut Anton, segmen ini jauh lebih aman dan stabil, baik dari sisi harga maupun permintaan.
“Hybrid udah banyak saya, udah sering. Banyak laku yang hybrid, kayak Yaris Cross atau Innova Zenix,” ungkapnya.
Dari seluruh unit yang dijajakan di showroom miliknya, sekitar 25 persen di antaranya adalah mobil hybrid.
Sisanya masih didominasi mobil berbahan bakar bensin dan diesel konvensional. Ini menandakan bahwa hybrid mulai menemukan tempat yang kuat di pasar mobil seken.
Dari segi harga, mobil hybrid juga mengalami depresiasi, tapi skalanya masih dalam batas wajar.
Misalnya, Toyota Yaris Cross Hybrid yang saat baru meluncur dibanderol lebih dari Rp 400 juta, kini tersedia dalam kondisi bekas sekitar Rp 360 juta.
Contoh lain, Toyota Innova Zenix Q Hybrid lansiran 2023 yang semula dijual sekitar Rp 640 juta, kini dalam kondisi bekas hanya turun ke kisaran Rp 555 juta.
Penurunan ini relatif stabil dan bisa diterima pasar, sehingga tidak membuat pedagang kesulitan menentukan harga.
Pendapat senada juga datang dari Andi, pemilik showroom Jordy Mobil yang juga berada di MGK Kemayoran. Ia mengakui bahwa mobil hybrid jauh lebih diminati dibanding mobil listrik bekas.

Pedagang mobil di MGK Kemayoran enggan jual mobil listrik bekas karena depresiasi tajam.
“Kalau menurut saya sih mendingan hybrid ya. Mendingan hybrid dibanding listrik,” ujar Andi saat diwawancarai pada hari yang sama.
Menurutnya, depresiasi mobil listrik memang cukup mengkhawatirkan. Sebagai contoh, Wuling Air EV varian Long Range yang saat baru dibanderol sekitar Rp 250 juta hingga Rp 300 jutaan, kini dalam usia pakai 1-2 tahun hanya laku di kisaran Rp 160 juta sampai Rp 165 juta.
Andi juga menyoroti masalah lainnya, yakni peluncuran banyak varian baru mobil listrik dalam waktu singkat yang membuat nilai jual varian lama langsung turun.
“Misalnya dia meluncurkan Wuling Air EV yang Long Range, dia keluarkan lagi yang Standar, dengan harga di bawah lagi,” katanya.
Kondisi ini tentu membuat pedagang kesulitan menyesuaikan harga jual. Nilai jual kembali menjadi tidak stabil, bahkan terkesan berubah setiap beberapa bulan. Odometer tinggi pun menjadi faktor krusial yang ikut menurunkan minat beli.
“Kalau mobil listrik, odometer harus kecil. Dan harganya juga harus jauh (dari harga barunya),” lanjut Andi.
Sebaliknya, mobil hybrid dianggap lebih fleksibel dan tidak terlalu sensitif terhadap jarak tempuh.
“Kalau untuk hybrid sih odometer kalau bisa jangan terlalu tinggi. Ya 20.000–30.000 Km masih oke lah,” tutup Andi.
Realitas ini menunjukkan bahwa hingga saat ini, mobil hybrid bekas lebih mampu menjawab kebutuhan pasar Indonesia.
Sementara mobil listrik masih butuh waktu, jaminan nilai ekonomis yang lebih pasti, dan pendekatan pasar yang lebih matang agar bisa bersaing di segmen mobil bekas. (vip)